Etika Komunikasi

Bahan Kuliah X

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

 

Media Massa dan Etika Komunikasi

K. B. Primasanti

Slow News, No News (Ramonet dalam Haryatmoko, 2007: 24)

Peristiwa penggerebegan terorisme yang terjadi secara berturut-turut di Indonesia menuntut perhatian besar dari publik. Bagaimana tidak, di beberapa stasiun televisi swasta, berita tersebut ditayangkan 48 jam nonstop. Seperti berita langsung pada umumnya, seorang reporter berdiri di sekitar tempat kejadian dan berusaha melaporkan “apa pun” yang dilihatnya. Sesekali ia mewawancarai masyarakat atau aparat yang berada di lokasi. Bak kompetisi, tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi tercepat yang bisa dilaporkan kepada masyarakat. Lalu, kebenaran informasi menjadi prioritas ke sekian. Khalayak pun memainkan perannya, memegang remot televisi dan mulai melakukan seleksi: stasiun televisi mana yang paling cepat menjawab pertanyaan mereka. Khalayak bersorak ketika semua media secara simultan melaporkan tertangkapnya seorang gembong teroris. Sayang, keesokan harinya, seorang aparat menyatakan dengan tegas bahwa media terlalu gegabah memberitakan informasi yang belum diselidiki secara yuridis. Informasi tersebut meleset.  Ilustrasi di atas menggambarkan betapa semboyan slow news, now news telah menjadi frasa paling bijak dalam kompetisi media saat ini. Kompetisi tersebut menuntut media menampilkan informasi tercepat dan terakurat, serta tersensasional. Premis ini mengasumsikan bahwa cepat dan akurat saja belum cukup untuk menjamin kejayaan sebuah media. Perlu keberanian untuk menampilkan sesuatu yang sensasional, spektakuler, berrating tinggi. Haryatmoko bahkan menyebut rating adalah ukuran keberhasilan media (2007: 10). Dalam proses persaingan media mencapai rating yang diidamkan ini, media menjadi cenderung seragam dalam isi dan performanya. Publik pun dipaksa mengkonsumsi menu yang sama. Bisa saja publik menolak. Namun, menurut Haryatmoko (2007: 12), dorongan untuk mengkonsumsi itu merupakan keberhasilan persuasi dan mistifikasi yang datang dari hasrat pemirsa untuk dirayu, dan rasa sedang untuk ditipu. Inilah yang disebut Haryatmoko (2007: 12) sebagai ‘kekerasan simbolik’[1]. Kekerasan simbolik menjadi istilah yang menarik untuk mendefinisikan signifikansi kajian media massa dalam kehidupan masyarakat.

Kekerasan simbolik, di satu sisi, menunjukkan bahwa media memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Masyarkat dianggap sebagai khalayak yang pasif, yang menerima apa pun yang disuguhkan oleh media. Mengulang pernyataan Haryatmoko (2007: 12) masyarakat menjadi korban yang memang memiliki hasrat untuk dirayu dan ditipu. Jika hal ini dibiarkan saja, maka akan terjadi dominasi ide oleh media massa sehingga yang tidak mengindahkan ekspresi masing-masing individu. Misalnya dalam kasus penggerebegan teroris beberapa di atas, ditinjau dari segi kompetisi media, media akan menayangkan berita yang ingin dianggap penting oleh masyarkat. Water Lippmann (1922) mengemukakan pendapat bahwa media massa menciptakan imej dari peristiwa di dalam alam pikiran kita. Kemudian oleh McCombs dan Shaw mengembangkannya, “…as laid out by McCombs and Shaw, the agenda setting hypotesis is relatively strightforward one. Specifically, agenda setting is the process whereby the news media lead the publik assigning relative important to various publik isssues (Zhu and Blood, 1997). The media agenda influences the publik agenda not only by saying “this issues is important” in an overt way, but by giving more space and time”[2]. Agenda media inilah yang ditampilkan di dalam media. Bayangkan, jika semua media memiliki agenda yang seolah-olah sama, apa yang akan diterima oleh masyarkat. Masyarakat hanya akan menjadi audiens pasif yang duduk di depan media dan mengomentari berita yang ditayangkan oleh semua media seolah-olah itu informasi yang paling penting.

Di sisi lain, kekerasan simbolik mengungkapkan bahwa sesungguhnya masyarkat pun memiliki need dengan kadar tertentu terhadap media massa yang membuatnya tidak bisa lepas dari media massa. Siregar (1998: 2) menyatakan bahwa media massa sudah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan.  Kebutuhan terhadap informasi inilah yang membuat masyarakat melakukan pemilihan terhadap media yang akan digunakan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan itu adalah kecepatan, keakuratan, dan kemenarikan dalam mendapatkan informasi mengenai isu terkini. Dengan tercukupinya kebutuhan mereka akan informasi ini maka mereka merasa tidak ketinggalan jaman. Kedua pendekatan ini mengasumsikan bahwa media berpotensi untuk menjadi dominan dalam penyaluran informasi atau ide.

Ketika media massa dengan kekerasan simbolik yang melekat padanya dinilai membawa dominasi di masyarakat, maka muncullah stigma pembatasan kebebasan pers di dalam media. Regulasi pelarangan, seperti sensor, mengemuka. Sebelum beredar, informasi dipotong sana-sini untuk menampilkan yang ‘dianggap’ sesuai bagi masyarakat.  Celakanya, cara seperti ini secara logis justru menimbulkan dominasi baru dari pihak penguasa terhadap media massa dan masyarkat. Media ganti berteriak melawan sensor.

Membaca implikasi media massa yang sangat luas bagi masyarakat, para pengkaji media perlu memiliki perangkat pengetahuan untuk membongkar dominasi media massa ini. Perangkat ini dimaksudkan untuk menjamin hak berkomunikasi di ruang publik dan hak akan informasi yang benar. Menurut Siregar (1998: 2), perangkat inilah yang disebut etika komunikasi. Etika komunikasi berkaitan dengan standar perilaku dalam melakukan kegiatan komunikasi, termasuk media. Titik tolak kajian etika komunikasi adalah penerapan standar normatif terhadap tindakan pelaku profesi bidang komunikasi.  Berdasarkan paparan di atas maka etika komunikasi harus digunakan di dalam kerja media massa berlandaskan tiga premis utama: media massa memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap publik, publik membutuhkan media yang benar, menjaga keseimbangan kebebasan berekspresi dan tanggung jawab.  Demikianlah etika komunikasi menjadi perangkat yang penting dipelajari oleh para pengkaji maupun pelaku profesi bidang media massa.

 

 


[1] Menurut Haryatmoko, kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang berlangsung berkat persetujuan tersirat dari korbannya (pemirsa, pembaca, pendengar).

[2] Mengenai teori Agenda Setting ini dibahas di dalam buku Katherine Miller, Communication Theories, Mc Graw Hillm, Texas A7M university, 2001, Page 257-259

7 responses to this post.

  1. Posted by Santa on December 8, 2011 at 1:19 am

    Test

    Reply

  2. Posted by Santa on December 8, 2011 at 1:28 am

    Miss, bagaimana dengan kasus program infotainment gosip yang isi beritanya cenderung sama disetiap media? Untuk berita gosip ada agen nya tersendiri yang mencari berita seperti paparazi, jadi media tertentu tinggal membeli berita tersebut , sehingga mengakibatkan isi berita yang cenderung sama di setiap media. Berarti agenda setting medianya tidak ada ya miss?? Dan, apakah perlu infotainment gosip memiliki agenda media? Thanks.

    Reply

  3. Posted by Santa-51410121 on December 8, 2011 at 1:30 am

    Satu lagi miss, berarti, infotainment gosip sudah termasuk melakukan kekerasan simbolik ya? Thanks. God bless..

    Reply

  4. Posted by Dewi Natalia Onggara on December 8, 2011 at 12:40 pm

    Pernah ada kejadian okezone yang pernah salah memberitakan mengenai anak SBY, kemudian pihak Okezone langsung mencabut dan meminta maaf kepada pihak yang terkait. Kalau sebenarnya berita itu memang tidak benar, berarti kan pihak Okezone.com sudah mempertanggungjawabkan berita yang dipublikasikannya, berarti dia sudah menerapkan etika komunikasi. Tetapi, jika kenyataannya berita itu benar, namun karena Okezone.com dicekal oleh SBY agar tidak memberitakannya, apakah pihak Okezone.com tetap bisa dinilai gegabah dalam melakukan pemberitaan? Dan, pernah juga terjadi pada Jawa Pos, yang akhirnya Jawa Pos dituntut oleh publik untuk meminta maaf dan harus menuliskannya permintaan maaf yang dimuat pada halaman depan selama tiga hari berturut-turut? Sebenarnya, tujuan dari publik untuk menyuruh Jawa Pos seperti itu untuk apa? Padahal, ketika Jawa Pos sudah meminta maaf dan memberi pertanggungjawaban kan berarti masalah sudah selesai, tetapi kenyataannya publik sendiri yang memperpanjang masalahnya. Selain itu, media memberikan pengaruh pada publik, publik membutuhkan media yang benar. Namun, ketika media telah memberikan berita yang benar, namun publik kurang setuju, publik akan segera meminta pertanggungjawaban media. Apakah itu juga bisa dibilang bahwa media terlalu gegabah dalam melakukan pemberitaan? GBU miss 😀

    Reply

  5. Posted by marcella stephanie on December 9, 2011 at 12:37 pm

    Kebebasan pers jaman sekarang memang kadang kebablasan. Pers seakan berlindung di bawah payung kebebasan pers, dan kadang seenaknya membuat berita yang sensasional tanpa memperdulikan unsur-unsur dasar etika jurnalistik. Media massa sekarang saling beradu kecepatan dalam melaporkan berita dan melupakan verifikasi untuk menghasilkan berita yang akurat. Bahkan sampai membuat berita bohong hanya untuk menarik perhatian masyarakat, dan menambah rating. Misalnya kasus yang melibatkan reporter TVOne yang mengundang markus palsu di acaranya. Menurut saya itu merupakan pelanggaran etika jurnalistik yang sangat berat, bagaimana suatu media televisi nasional dapat menyebarkan berita rekayasa seperti itu. Padahal jelas-jelas tertulis pada pasal 4 Kode Etik Jurnalistik bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong. Namun lagi-lagi menurut saya kasus tersebut mampu ditutupi dengan power dan uang yang dimiliki pemilik saham TVOne (Bakrie) yang punya posisi kuat di bid politik, sehingga sampai sekarang, si reporter masih dapat wara-wiri membawakan acara di TV. Menurut saya solusinya ada 2, dari insan pers sendiri (wartawan dan pemilik saham), serta dari pemerintah. Dari para wartawan, mereka seharusnya sadar bahwa sebagai jurnalis mereka punya kode etik profesi, yaitu kode etik jurnalistik, yang harus mereka tegakkan. Apalagi, pada dasarnya kode etik tersebut muncul dari kesepakatan bersama antar jurnalis. Jadi, mengapa mereka tidak dapat mematuhi kode etik yang mereka buat sendiri? Pemilik saham di Indonesia sendiri kebanyakan kini bukan merupakan org media dan komunikasi, sehingga mereka mungkin menggunakan media untuk keperluan komersil sampai politik. Sebagai org yang terjun di bid media, mereka juga paling tidak mengetahui dan paham kode etik jurnalistik, sehingga mereka tahu, bahwa dlm pasal-pasalnya wartawan harus memberitakan secara berimbang dan bersikap independen. Sedangkan solusi untuk pemerintah, mereka harus meluruskan peraturan-peraturan dan UU yang kadang saling membingungkan para jurnalis. Contohnya, UU pornografi dan UU Kebebasan pers dimana, UU pornografi menyatakan bahwa media dapat disensor bila mengandung konten pornografi sedangkan dalam UU kebebasan pasal 4 dinyatakan bhw pers tdk dikenai penyensoran.

    Reply

  6. Posted by marcella stephanie 51410015 on December 9, 2011 at 12:39 pm

    marcella Stephanie NRP 51410015 miss hehe,,saya bahasnya dari perspektif kebebasan pers miss,soalnya itu topik saya jd saya yang sedikit banyak tahu ya tentang kebebasan pers miss. terima kasih

    Reply

  7. Posted by agatha natalia 51410010 on December 16, 2011 at 7:47 am

    Bagi saya, media yang baik bukanlah media yang hanya menang dalam kecepatan, tetapi juga dibarengi dengan kualitas.
    Bagaimana media harus menyampaikan setiap informasi secara utuh, objektif dan mendalam.

    Memang melihat persaingan media sekarang, mengharuskan mereka untuk cepat dalam mengupdate berita. Siapa yang cepat mengupdate berita, ialah pemenangnya. Kebenaran yang seharusnya menjadi prioritas yang utama tidak lagi diutamakan. Yang mereka utamakan adalah beritanya cepat naik. Saya tidak tahu apakah media sekarang masih berfokus untuk menjalankan fungsinya. Karena kebanyakan media sekarang sangat terikat kuat dominasi pemilik perusahaan media. Mereka saling adu membuat realitas masyarakat akan perihal-perihal tertentu.

    Mungkin banyak orang yang memiliki sikap kritis terhadap isi berita, tetapi pada kenyataannya mereka tidak ada disana. Mereka hanya tau dari media satu dan membandingkan dengan media yang lainnya. Sesuatu yang diberitakan oleh media akan dianggap sebagai kebenaran yang terjadi sesungguhnya. Dengan power media yang sangat besar tersebut, seharusnya media menjalankan tugasnya dengan gentar dan berhati-hati. Karena mereka menyangkut pola pikir masyarakat banyak. Setiap kata yang mereka muat harus mereka pertanggungjawabkan.

    Etika komunikasi sangat penting dipegang oleh para pekerja media. Undang-undang hanyalah peraturan dari luar. Yang terpenting adalah dari dalam setiap pekerja media sudah tertanam etika-etika komunikasi. Sehingga etika tersebut yang terus menjaga mereka dalam menunaikan pekerjaannya. Mereka juga harus berintegritas secara personal, sehingga dominasi-dominasi manapun dapat mereka hadapi dengan cara yang benar

    Reply

Leave a reply to agatha natalia 51410010 Cancel reply