Archive for September, 2011

SEKILAS SAJA PANDANGAN ADORNO DAN HORKHEIMER

Bahan Kuliah III

MEDIA DAN BUDAYA

 

Cultural Industry : Review Pemikiran Adorno dan Horkheimer

K.B. Primasanti

Film, radio, and magazine make up a system which is uniform as a whole and in every part.

– Adorno and Horkhaimer –

 

Celana skinny yang menjadi kekhasan kaum skinhead[1] fashion tahun 1980-an kembali populer pada tahun 2000an melalui tayangan video-video klip di televisi. Seolah-olah digerakkan oleh keinginan dan kebutuhan yang sama, serempak anak muda mengenakan produk yang populer di era ayah-ibu mereka ini. Dari mana budaya seperti ini                 didiseminasi? Media dituduh sebagai pelaku utamanya; kekuatan kapitalis disangka sebagai otaknya. Kapitalisme dan media berkolaborasi untuk memunculkan ide bahwa semakin mudah sesuatu diproduksi, semakin menguntungkan bagi industri. Industrialisasi dan komodifikasi budaya menjadi jawaban bagi industri untuk melanggengkan ideologi kapitalis mereka dengan memanipulasi kebutuhan khalayak. Ciri yang tampak kemudian adalah standarisasi budaya dalam bentuk massif. Demikianlah konstelasi pemikiran mengenai  cultural industry yang akan dipaparkan secara ringkas dalam tulisan ini.

Dalam tulisannya, The Cultural Industry: Enlightenment as Mass Deception, Theodor Adorno dan Max Horkheimer mengungkap bahwa budaya massa berhubungan erat dengan standarisasi produksi budaya melalui film, radio, dan majalah untuk memanipulasi massa. Dengan demikian, secara tidak disadari, khalayak dipaksa untuk membutuhkan dan berusaha memiliki budaya yang serupa, bagaimanapun kondisi mereka. Adorno dan Horkheimer membaca fenomena ini sebagai bencana bagi high culture atau budaya ‘adiluhung’. Dalam tesisnya mengenai cultural industry, mereka menyebut bahwa atas nama kepentingan khalayak, industri kapitalis telah menggerakkan massa dengan keinginan dan kebutuhan palsu. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Cultural industry menjadi term yang menggantikan istilah budaya massa atau pop culture yang dapat diidentifikasi melalui beberapa karakter khususnya: budaya massa, komodifikasi, dan standarisasi.

Budaya Massa

Semakin sulit sesuatu diproduksi, semakin mulialah dia. Semakin mudah sesuatu diproduksi, semakin menguntungkan. Tesis yang tersirat dalam tulisan Adorno dan Horkheimer ini mendasari asumsi bahwa profit industri merupakan penggerak utama budaya massa. Gejala yang muncul adalah produksi budaya secara besar-besaran yang didasarkan pada kemudahan dan keuntungan industri dengan dalih kepentingan khalayak. Adorno dan Horkheimer menegaskan hal dengan mengatakan:

If one branch of art follows the same formula as one with a very different medium and content; if the dramatic intrigue of broadcast soap operas becomes no more than useful material for showing how to master technical problems at both ends of the scale of musical experience – real jazz or a cheap imitation; or if a movement from a Beethoven symphony is crudely “adapted” for a film sound-track in the same way as a Tolstoy novel is garbled in a film script: then the claim that this is done to satisfy the spontaneous wishes of the public is no more than hot air.

Napoli (1997) menjelaskan juga bahwa media yang hidup di dalam system kapitalis selalu memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya produksi, “… media organisations continue their existence in a capitalist system such as consumers depend upon their ability to maximise revenue and minimise costs”.

Komodifikasi dan Standarisasi

Seperti yang diungkapkan Napoli, kecenderungan media dalam sistem industri kapitalis yang selalu berupaya mencapai keuntungan setinggi-tingginya berkonsekuensi logis pada minat kapitalis terhadap kontrol individu. Saat budaya digunakan untuk mengontrol kesadaran individual maka budaya telah diindustrialisasi dan dikomodifikasi. Cultural industry mengklaim bahwa industri memproduksi budaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap hiburan serta menyajikan apa yang diinginkan konsumen. Komodifikasi budaya yang ditampilkan di layar kaca ini dilakukan dengan menetapkan standarisasi tertentu.

Standarisasi menjadi metode utama yang digunakan industry kapitalis dalam memproduksi budaya massa. Adorno dan Horkheimer mengatakan bahwa “…standards were based in the first place on consumers’ needs, and for that reason were accepted with so little resistance. The result is the circle of manipulation and retroactive need in which the unity of the system grows ever stronger”. Muncullah yang disebut sebagai manipulasi kebutuhan konsumen dengan hasil kebutuhan semu atau pseudo needs. Kebutuhan semu inilah yang ditawarkan industry capital kepada konsumen dengan dalih mereka memahami kebutuhan utama konsumen. Saat proses ini berlangsung secara berkelanjutan, industri kapital telah mengontrol kesadaran individu.

Apa yang kita saksikan melalui lembar-lembar majalah, layar televisi, film, atau suara di udara akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang serupa. Adorno dan Horkheimer, melalui tesisnya mengenai cultural industry melihat hal ini sebagai penyakit sosial yang perlu dikritisi. Mulai dari industri kapitalis yang tenang-tenang saja melakukan praktik budaya massa hingga sebuah masyarakat dengan budaya yang massif yang semakin tidak peka pada ekspresi dan keunikan individu, hendaknya menggelitik kita untuk terus melakukan kritik dan kajian terhadapnya. Tulisan ini sekadar pengantar singkat, semoga menjadi perenungan.

 

 

 

 


[1] Komunitas kaum minoritas, pekerja kulit hitam dan putih di Inggris. Mereka mengadakan perlawanan terhadap kaum dominan yang dinggap terlalu ketat menentukan ketentuan kerja bagi mereka. Maka mereka berusaha membentuk sebuah sistem kerja yang berbeda dari sistem yang umum saat itu. Perlawanan ini diantaranya dilakukan dengan membentuk symbol-simbol yang berbeda, misalnya gaya rambut plontos atau gaya berpakaian mereka (George Marshall, 2005).